Konflik Sosial
yang merebak di kalangan masyarakat pada masa-masa belakangan ini merupakan suatu gejala sosial luar biasa yang memerlukan pembahasan yang bersifat multidimensional. Tulisan ini merupakan suatu analisis teoritik tentang terjadinya konflik dilihat dari tiga faktor pendorong, yaitu peleburan diri individu ke dalam kelompok sendiri (In-group) yang menghilangkan ciri atom insani dan menonjolkan kepribadian kelompok. Melalui proses kelompok erat inilah seseorang memiliki kekuatan untuk bergerak, sekaligus juga berontak terhadap kemapanan, serta menempatkan orang yang tidak termasuk dalam kelompok sebagai musuh. Faktor kedua adalah peranan kebencian kolektif akibat suatu kondisi ketidak enakan yang kronis sebagai prakondisi suatu konflik. Luka yang membara akibat prakondisi buruk ini mengakibatkan kebencian kolektif yang kronis pula. Kebencian kolektif yang dimiliki oleh suatu kelompok sendiri yang kuat dan memiliki kepribadian sendiri akan menjadi energi yang sangat kuat untuk bergerak mewujudkan dirinya dalam sebuah konflik. Kedua faktor ini kemudian dikobarkan oleh orang yang sangat terampil dan bersemangat dalam suatu kerusuhan. Tanpa kedua faktor penting ini maka propaganda para pengobar konflik tidak akan mampu menggerakkan massa untuk terlibat dalam suatu konflik besar yang terbuka, dan seringkali bersifat brutal dan kejam. Tulisan ini bukanlah sebuah analisis atas hasil suatu penelitian, melainkan hanya sebagai pelengkap teoritik dalam analisis konflik yang lebih lengkap.
“Melebur” Dalam “Kelompok Sendiri” (In-Group) sebagai “Energi” Pengorbanan Diri Yang Dissosiatif.
Konflik sosial merupakan suatu fenomena sosial politik yang menarik untuk dikaji secara mendalam. Konflik ini selalu membutuhkan suatu akar sosial tertentu serta selalu diikuti oleh kelompok-kelompok yang memiliki anggota dengan karakteristik sebagai “pemeluk teguh “(True Believer) yang memperjuangkan tujuan tertentu yang dianggap sebagai “tujuan suci”. kelompok-kelompok seperti ini biasanya didasarkan pada kriteria kesamaan tertentu, baik kesamaan suku, kesamaan kehidupan sosial ekonomi, budaya, pendidikan, agama, ras, dan sebagainya. Kelompok dengan tipe seperti ini seringkali pula diikuti oleh beberapa karakteristik lain sebagai kelompok sendiri (In-group) yang erat, yang diidentifikasi oleh anggotanya memiliki kesamaan tertentu.
Apapun sifat gerakan massa yang menjadi landasan sebuah konflik yang melibatkan kekerasan (agama, rasial, sosial, politis, atau ekonomi), semuanya mempunyai sekelompok ciri yang sama, yaitu mampu membangkitkan pada diri para pengikutnya kerelaan untuk “berkorban sampai mati”, kecenderungan untuk beraksi secara kompak, fanatisme, antusiasme, harapan berapi-api, kebencian, intoleransi, kepercayaan buta, kesetiaan, serta memejamkan mata dan menutup telinga dari kebaikan orang lain. Berbagai kerusuhan seperti kerusuhan rasial di Sambas, kerusuhan antar agama di Ambon, kerusuhan buruh di Bandung Jawa Barat, kerusuhan politik pada 27 Juli di Jakarta, kerusuhan “semanggi” yang dipelopori oleh mahasiswa di Jakarta, konflik antar kampung di Nusa Tenggara Barat, dan banyak lagi kerusuhan lain yang juga sangat “kental” dengan karakteristik seperti itu.
Beberapa ahli tentang kelompok (Krech, Crutchfield, Ballachey : 1962; Garvin : 1987; Raven dan Rubin : 1976) menyebutkan bahwa kelompok merupakan sarana bagi seseorang untuk memperoleh kekuatan untuk bergerak, bahkan juga gerak untuk memberontak. Selain itu, melalui kelompok erat pula seseorang akan menyalurkan rasa sakit dan penderitaannya, sehingga rasa sakit dan penderitaan tersebut tidak lagi dirasakan sebagai penderitaan pribadi. Seseorang akan memperoleh kekuatan luar biasa untuk bergerak, atau mencapai tujuan dengan “meleburkan diri” dalam kelompok erat, kelompok kental, atau kelompok sendiri, (Raven dan Rubin : 1976) sehingga ciri dan tanda yang membedakannya sebagai pribadi yang mandiri hilang dan mewujud dalam kesatuan kelompok “Ku” yang solid. Sehubungan dengan proses-proses dalam kelompok erat inilah maka individu anggotanya memperoleh “energi” untuk berubah, bergerak, tumbuh, menampilkan peran, sekaligus juga menolak, melawan, atau juga membangkang. Kelompok sendiri ini memiliki karakteristik tertentu yang sangat erat dan memiliki semangat untuk menolak orang luar yang tidak menjadi anggota kelompok serta menganggapnya sebagai musuh yang perlu dilawan atau minimal dicurigai.
Perwujudan lebih lanjut dari kelompok sendiri, menurut Hoffer (1988) dapat digambarkan melalui ungkapan-ungkapan sederhana yang kuat seperti : Aku termasuk dalam “Keluargaku”, “Klikku”, “Kerabatku”, “Agamaku”, “Kampungku”, “Sukuku”, dan sebagainya, atau semua kelompok yang berakhir dengan kata kepunyaan “Ku”. Semua itulah yang dimaksud dengan kelompok sendiri, karena “aku” termasuk di dalamnya. Semua kelompok di mana bukan diakhiri dengan kata kepunyaan “Ku” merupakan kelompok luar, karena “Aku” berada di luarnya, kelompok seperti ini akan dipandang sebagai orang asing atau orang luar ras yang akan menempati posisi mirip sebagai “musuh”.
Kecenderungan manusia untuk melibatkan diri ke dalam suatu kelompok nampaknya secara sosial merupakan suatu dorongan dasar dari manusia itu sendiri. Jika seseorang bertemu dengan orang asing atau baru dalam suatu situasi, maka mereka seketika itu juga akan segera mencari kesamaan diantaranya (Raven dan Rubin, 1976). Mereka akan bertanya dari mana asalnya, apa tujuannya, apa dan bagaimana aliran pemikirannya, apa agamanya, dan seterusnya. Jika keduanya berasal dari satu kota yang sama, maka kesamaan itu akan diperkecil lagi menjadi kampung atau desa mana dia berasal. Jika mereka memiliki berbagai kesamaan tertentu, mmaka mereka akan mudah untuk bergabung dan menjalin hubungan sosial secara akrab. Sebaliknya, setelah pengumpulan data secara singkat ini, kemudian tidak ditemukan kesamaan-kesamaan, maka mereka akan menganggap orang tersebut berada di luar kelompoknya yang harus diwaspadai, dicurigai, atau minimal tidak diajak untuk bergabung dengan kelompoknya. Kecenderungan orang untuk mencari kesamaan tertentu diantara kumpulan orang-orang mendorong orang untuk lebih mementingkan kelompoknya sendiri yang bersifat erat, tatap muka secara intens, kompak, serta mengidentifikasikan kepribadiannya kepada kelompoknya. Sebaliknya, sejalan dengan proses identifikasi terhadap kelompok erat ini, akan mengakibatkan berkurang atau menurunnya identifikasi maupun upaya untuk mengikatkan diri pada kesatuan masyarakat yang lebih luas. Meningkatnya keeratan huubungan di dalam kelompok-kelompok kecil yang dibarengi oleh berkurangnya ikatan dalam satu kesatuan masyarakat yang lebih luas akan menjadi sumber panas bagi pertentangan kepentingan antar kelompok.
Durkheim (Johnson : 1988)
menjelaskan hal ini dalam bahasannya tentang sumber-sumber ketegangan dalam masyarakat organik. Dia mengatakan bahwa salah satu ancaman paling besar pada solidaritas organik adalah berkembangnya heterogenitas yang mengakibatkan ikatan bersama yang menyatukan suatu masyarakat luas menjadi kendur. Hal itu mendorong individu-individu mulai mengidentifikasikan diri pada kelompok-kelompok yang bersifat terbatas, erat, dan memiliki solidaritas mekanik yang tinggi. Jika solidaritas pada tingkat ini (tingkat kelompok kecil yang kuat) digabungkan dengan melemahnya identifikasi dengan masyarakat yang lebih luas, maka kemungkinan konflik menjadi semakin besar.
Kondisi melemahnya solidaritas dan kesatuan dalam suatu masyarakat yang lebih luas serta munculnya kelompok-kelompok dengan solidaritas mekanik yang kuat inilah yang melatar belakangi berbagai macam konflik yang terjadi di Indonesia. Konflik di Ambon, Lombok Mataram, Sampit, dan sebagainya juga dilandasi oleh latar belakang sosial yang mirip dengan gejala seperti disebut di atas.
Untuk membuat serta mematangkan seseorang agar dia bersedia berkorban untuk melakukan gerakan massa dalam sebuah konflik, maka semua ciri dan tanda yang membedakannya sebagai pribadi harus dihilangkan. Seseorang harus dijauhkan dari ciri “Atom Insani” yang memiliki kepribadian sendiri, akan tetapi harus dileburkan dalam suatu kelompok sendiri yang erat, yang memiliki kepribadian yang berbeda dengan kepribadian individual (Hoffer : 1988) yang juga sejalan dengan pemikiran Raven dan Rubin. Selanjutnya Hoffer juga menjelaskan bahwa cara yang paling cepat dan efektif untuk membangun kerelaan untuk berkorban adalah dengan cara membuat agar orang “terserap habis” dalam kelompok erat, orang yang sudah “terserap habis” ke dalam sebuah kelompok sudah tidak lagi melihat dirinya sebagai sebuah pribadi yang bebas.
Jika anggota kelompok sendiri tersebut ditanya “siapa dirinya”, maka dengan lantang dan tegas dia akan menjawab bahwa dirinya adalah orang yang berasal dari kampung tertentu, agama tertentu, suku tertentu, aliran politik tertentu, kaum tertentu, dan sebagainya yang memiliki kepribadian tersendiri yang berbeda dengan kepribadian individualnya yang mandiri. Keadaan inilah yang kemudian menjadi “kekuatan luar biasa” untuk menganggap bahwa orang lain di luar kelompoknya adalah orang asing yang patut untuk dicurigai, dan dijadikan seteru dalam menghadapi situasi sosialnya. Setelah keadaan peleburan diri secara penuh ke dalam kelompok, maka orang sebagai sebuah pribadi ini akan rela melakukan apa saja demi kelompoknya.
Dalam setiap tindakannya, seseorang yang sudah meleburkan diri ke dalam kelompok erat, selalu mengkaitkan dirinya, kepribadiannya, dan nilai-nilainya kepada sesuatu yang lebih besar, lebih kuat, yang memiliki identitas tersendiri, yaitu kelompok sendiri, atau kelompok erat. Inilah yang juga terjadi pada sebagian besar konflik atau kerusuhan sosial. Kesedihan dan kegembiraan, rasa bangga dan percaya diri, keinginan dan harapan, keputus asaan dan penderitaan yang dialami sangat terkait erat dengan kelompoknya. Jika seseorang “terdampar” pada suatu situasi yang sangat buruk, menderita fisik, sosial, maupun ekonomi menyakitkan, mengalami penyingkiran yang rumit, serta ketidak mampuan pribadi yang parah, maka pribadi tersebut tetap menganggap atau merasa bahwa “mata dan tangan” kelompoknya tetap menatap dan melindunginya. Jiwa dan kekuatan diri yang terpusat pada kelompok begitu kuat, sehingga dia tidak melihat dirinya sebagai sebuah pribadi yang unik, melainkan sebuah kekuatan kolektif yang menjadi energi penggerak dalam menghadapi segala situasi. Jika dia mengalami suatu kemiskinan, maka dia tidak melihat hal itu sebagai akibat dari ketidak mampuan atau kemalasan diri. Dikeluarkannya seorang individu dari kelompok seperti ini akan dirasakan sebagai “perenggutan” yang sangat parah dari kehidupan. Orang ini akan merasa bahwa kehidupannya sudah tidak berarti lagi, karena kekuatan kolektif yang diberikan oleh kelompok kepada dirinya sudah tidak ada lagi. Dia akan mengalami “Lethargy” yang sangat parah, serta rasa keputus asaan yang “mematikan”.
Berbagai konflik suku, agama, ras, kampung, partai, maupun beraneka gerakan kerusuhan dan pemberontakan massa yang menakutkan, nampaknya seringkali dimotori oleh benturan kekuatan-kekuatan semacam ini dengan kekuatan sejenis yang berasal dari kelompok lain. Anggota satu kelompok yang terlibat konflik semacam ini akan dengan sukarela mencurahkan segala kehidupannya kepada kelompoknya. Dia bersedia “hancur” demi kelompoknya. Dengan demikian, tidaklah heran jika seseorang rela mengorbankan harta bendanya, jiwa dan raganya, kehidupannya demi kelompoknya untuk mencapai tujuan yang sebenarnya secara logis kurang bermanfaat atau tidak bermanfaat, bahkan seringkali berupa penghancuran kehidupan orang lain atau kelompok lain. Contoh nyata yang sangat baik dan dapat diamati secara nyata adalah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dimana anggotanya bersedia menderita lahir dan batin, luar dan dalam, sosial maupun material untuk membela dan terlibat penuh untuk mencapai tujuan suci dari kelompoknya.
Kebencian Bersama yang Menyatukan Gerakan Dalam Sebuah Konflik.
Berbagai macam bentuk konflik serta pemberontakan yang keras selalu diawali oleh kondisi kebencian yang sangat parah dari anggota kelompok yang terlibat. Kebencian ini nampaknya merupakan suatu unsur dasar utama yang ada dalam gerakan-gerakan seperti itu. Hal inilah yang seringkali dimanfaatkan oleh para “provokator” sebuah konflik yang melibatkan kekerasan, yang sangat memahami sifat dari sebuah gerakan massa.
Konflik kekerasan yang berlatar belakang agama di Ambon nampaknya mustahil akan mengakibatkan penghacuran mengerikan seperti yang selama ini terjadi, karena Ambon sebenarnya merupakan suatu masyarakat yang sangat bersahabat, terbuka, memiliki kehidupan sosial yang indah. Mereka adalah masyarakat yang mampu mengekspresikan keindahan melalui nyanyian-nyanyian serta kesenian tradisionalnya yang memukau. Selain itu, latar belakang keagamaan nampaknya akan sulit diterima sebagai faktor yang mendorong munculnya konflik. Agama-agama besar yang ada di dunia ini, apapun agamanya, memiliki ajaran tentang keharmonisan serta kesucian pribadi yang sangat kuat, yang sesungguhnya justru akan mencegah munculnya konflik. Akan tetapi kebersamaan serta keharmonisan ini akan rusak dengan sekejap mata hanya karena adanya suatu rekonstruksi kebencian bersama (antar kelompok-kelompok dalam / sendiri) terhadap sesuatu atau suatu kelompok lain.
Agamaku adalah yang terbaik, karena aku berada di dalamnya, dan dengan solidaritas mekanik yang tinggi, yang cenderung menganggap bahwa identitas pribadinya yang unik telah menyatu dengan identitas keagamaannya, dan dibarengi oleh memudarnya ikatan kemasyarakatan yang luas, maka solidaritas ini akan diikuti oleh adanya anggapan bahwa agama di luar agamaku adalah sesuatu yang buruk yang perlu diwaspadai, perlu dicurigai, dan harus ditempatkan dalam posisi sebagai musuh. Penanaman kebencian kolektif ini memerlukan proses sosilisasi yang intensif, jika proses sosialisasi ini dilakukan terus menerus semenjak seseorang berusia dini, maka kebencian ini akan berurat dan berakar dalam kepribadian tanpa disadari.
Seorang pemimpin dari sebuah gerakan pemberontakan berdarah sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam menciptakan kebencian atau musuh bersama ini. Masyarakat Afganistan yang terpecah belah dalam beraneka ragam suku yang saling bermusuhan serta berperang satu sama lain, secara cepat akan bersatu karena mendapat ancaman bersama. Mereka akan melupakan permusuhan internal dan memusatkan perhatian untuk mengusir kekuatan asing yang mampu menimbulkan kebencian kolektif. Demikian pula sistem politik “memecah belah” yang dijalankan penjajah pada hampir semua bentuk penjajahan yang bertujuan untuk mengurangi konsentrasi kebencian pada satu musuh saja, dengan demikian perlawanan dan pemberontakan kaum terjajah diupayakan untuk dikurangi seminimal mungkin.
Penentuan musuh bersama yang dapat membangkitkan kebencian kolektif inilah yang menjadi syarat bagi seorang pemimpin pemberontakan. Kemampuan memahami keadaan dan kelihaian mereka yang pandai mengarahkan pemberontakan tercerrmin dalam memilih musuh bersama yang tepat untuk dianut. Bahkan Hitler yang merupakan pakar dalam mengobarkan kebencian kolektif mengatakan bahwa keunggulan seorang pemimpin terletak pada kemampuannya untuk memusatkan sedemikian rupa semua rasa benci pada satu musuh, sehingga musuh-musuh yang sangat berbeda satu sama lain tampak seperti satu kelompok saja. (Hoffer : 1988).
Kebencian suatu golongan kepada golongan lain, atau satu kelompok kepada kelompok lain ini dipicu oleh beraneka ragam kepentingan yang sangat bervariasi. Kebencian kaum miskin terhadap kaum yang lebih kaya, misalnya, bukan hanya disebabkan oleh ketertindasan yang mengakibatkan revolusi sosial seperti yang dikemukakan oleh Marx, akan tetapi kecenderungan kelompok miskin ini untuk mengidentifikasikan diri pada kelompok-kelompok yang dianggap memiliki kesamaan tertentu (dalam hal ini adalah kemiskinaannya) dan memfokuskan kebenciannya pada kelompok lain yang memiliki perbedaan yang sangat menonjol. Hal inilah yang perlu diperhatikan dengan seksama dalam memahami konflik diantara golongan kaya dan golongan miskin di perkotaan. Hal yang sejenis juga dapat terjadi antara kelompok sipil dan birokrat, sipil dan militer, suku yang satu dengan lainnya, antara agama yang satu dengan agama lainnya, dan seterusnya.
Kebencian seringkali ditularkan kepada orang lain dengan lebih mudah dibandingkan dengan menularkan rasa cinta. Seseorang tidak akan mencari kawan untuk mencintai, bahkan orang lain yang sama-sama memiliki posisi mencintai sesuatu dianggap sebagai saingan yang berniat menyerobot. Orang seperti ini akan menganggap pesaingnya harus disingkirkan atau dilenyapkan. Sebaliknya seseorang akan mencari sekutu sebanyak-banyaknya bila kita membenci. Pertumbuhan dan perluasan kebencian menjadi kebencian kolektif inilah yang akan menyatukan suatu gerakan menghancurkan dari sebuah konflik.
Rayuan Yang Mengobarkan Kekerasan Dalam Konflik.
Banyak pendapat dari para pakar ilmu sosial, para politisi, serta birokrat dalam pemerintahan yang mengulas tentang konflik serta kerusuhan sosial yang melebih-lebihkan arti penting dari sebuah bujukan untuk membangkitkan konflik, yang belakangan memunculkan istilah provokator. Pendapat ini, menurut hemat saya, kurang benar, karena, bagaimanapun kuat dan besarnya rayuan, dan ahlinya seorang provokator, tidak akan mampu membangkitkan suatu konflik jika tidak ada prakondisi penting yang menjadi motor penggerak konflik.
Rayuan atau provokasi saja tidak akan mampu mempengaruhi jiwa dari orang-orang yang tidak ingin dipengaruhi. Harus ada luka mendalam yang dapat membangkitkan semangat orang untuk membalas. Luka mendalam juga tidak akan membangkitkan konflik luas jika tidak ada kebencian kolektif yang mendalam dari sebuah kelompok atau kaum. Provokasi tidak akan berhasil membujuk orang untuk melakukan konflik jika orang tersebut tidak memiliki “bahan bakar” untuk melakukan konflik. Provokasi atau rayuan untuk melakukan tindakan konflik secara terbuka dan luas hanya mampu menjalar ke dalam dada orang yang sudah terluka. Fungsi rayuan ini bukan untuk menanamkan pendapat baru tentang ketidak adilan, melainkan hanya berfungsi untuk mengungkapkan luka yang terpendam, kedengkian yang sudah membara, serta membangkitkan perasaan-perasaan terdalam dari orang yang tertindas. Orang hanya akan terbujuk untuk mempercayai sesuatu yang sudah diketahuinya tetapi tidak muncul ke permukaan.
Rasa tidak puas, kebencian akibat terjadinya penindasan yang lama berlangsung, kemiskinan diantara melimpahnya sumber, fanatisme buta yang mendapat rongrongan dari luar, fanatisme buta yang menganggap alirannyalah yang terbaik serta memunculkan kecurigaan, kecemburuan, stereotipe terhadap suatu golongan masyarakat tertentu atau terhadap aliran lain, ketidak adilan, nampaknya merupakan bara yang siap berkobar menunggu tiupan angin dari para provokator. Kita tidak perlu terlalu takut kepada para perayu atau provokator ini, jika kita mampu meniadakan atau mengurangi semaksimal mungkin prakondisi penting yang akan berfungsi sebagai energi penggerak sebuah pemberontakan atau sebuah konflik terbuka yang luas.
Akhirnya, kebencian yang dirasakan oleh orang banyak yang tergabung dalam suatu kelompok sendiri (In-group) yang memiliki kekuatan berontak yang sangat besar, didukung oleh pra kondisi seperti ketimpangan, kemiskinan, penindasan, kecemburuan dan kecurigaan yang membara akan dengan senang hati menyambut tiupan angin propaganda yang dilakukan oleh para provokator (perayu dan pengobar konflik). Anggota kelompok erat ini akan secara kompak dan sangat bersemangat serta penuh angkara murka menghancurkan apa saja yang menjadi bagian dari sesuatu yang dibenci. Konflik secara kelompok yang dikobarkan melalui propaganda akan menjadi semakin seru dan kejam bila dilakukan bersama dengan kekerasan dibandingkan dengan bila hanya semata-mata bersandar pada kemampuannya sendiri. Hal seperti inilah yang harus dipahami oleh para penganalisis konflik, sehingga langkah penanganan serta upaya pencegahan terjadinya konflik kekerasan juga melihat kondisi sistemik yang melahirkan kebrutalan.
Pencegahan Versus Penyembuhan
Pada berbagai tulisan mengenai konflik luas maupun gerakan kerusuhan keras yang seringkali diikuti pertumpahan darah telah banyak diulas dan dimuat pada berbagai macam media massa. Pada umumnya dapat disimpulkan adanya dua pendekatan besar yang menjadi topik pembicaraan, yaitu pendekatan pencegahan serta penanganan konflik yang dapat disebut sebagai upaya penyembuhan. Konflik yang terjadi di Indonesia belakangan ini nampaknya merupakan suatu peristiwa yang mengagetkan, mencengangkan, dan belum sering terjadi di masa lalu, oleh karena itu upaya penyembuhan atau penanganan setelah munculnya konflik dengan keterlibatan pasukan pengamanan menjadi prioritas utama. Sedangkan penyebab dari konflik tersebut, yang saat ini berubah menjadi bara terpendam, masih tetap tersimpan di dalam hati orang yang terlibat konflik ,walaupun saat ini mereka sedang membuat gencatan senjata, yang sewaktu-waktu kembali akan berkobar. Banyak contoh yang berasal dari lokasi-lokasi konflik atau situasi konflik yang menggambarkan keadaan seperti ini. Bagaimana orang yang terlibat konflik berdarah yang belum dapat bersatu, dan masih akan terus menurunkan generasi-generasi berikutnya yang akan semakin memperbesar serta memperluas kebencian kolektif yang satu sama lain saling menolak untuk bersatu.
Sebaliknya, pendekatan untuk mencegah munculnya berbagai prakondisi yang menjadi bahan bakar bagi suatu konflik masih belum begitu populer dalam khasanah perbincangan, atau kalaupun sudah, masih sebatas pada tulisan ilmiah, artikel-artikel seminar dan seterusnya, belum terasa pada pelaksanaan secara mendasar. Hal ini memang masuk dalam logika, karena upaya penanganan konflik setelah terjadinya konflik memang lebih nyata dibandingkan pencegahan yang biasanya memakan waktu yang jauh lebih lama serta tujuan yang bersifat abstrak. Yang dimaksud pencegahan di sini adalah mengupayakan berbagai macam cara untuk menghambat munculnya kebencian kolektif.
Pada alinea terdahulu telah dibahas bagaimana luka dan kebencian kolektif yang terpendam akan menjadi energi yang sangat potensial dalam memunculkan suatu konflik besar yang menakutkan, yang dalam hal ini kita sebut sebagai prakondisi penting dalam suatu konflik berdarah. Oleh karena itu penting kiranya pemerintah dan seluruh warga masyarakat untuk memahami prakondisi ini, sehingga dengan demikian terbentuk suatu upaya serius untuk menghilangkannya.
Telah diungkapkan bahwa kondisi-kondisi ketimpangan sosial yang kronis, kemiskinan, kebohongan publik, penindasan, kecemburuan, fanatisme buta, stereotip terhadap kelompok lain dan sebagainya merupakan kekuatan yang mempersatukan gerakan masa yang mengerikan dalam sebuah konflik. Prakondisi inilah yang memunculkan kebencian kolektif dan diperbincangkan secara intensif melalui kelompok-kelompok erat atau kelompok sendiri dan dirayu oleh para pengobar konflik menjadi suatu gerakan serempak / kompak penuh kebencian yang memacu kekerasan berdarah. Oleh karena itu upaya-upaya nyata yang ditujukan untuk mengurangi seminimal mungkin prakondisi ini akan sangat berguna untuk meniadakan bahan bakar bagi sebuah konflik. Upaya ini bukanlan sebuah upaya yang sederhana di Indonesia, karena permasalahan kemiskinan yang sudah demikian luas dan kompleksnya, Ujung maupun pangkal dari permasalahan maupun ketimpangan sosial ekonomi yang sangat sulit diidentifikasi.
Selain berbagai permasalahan sosial seperti yang tersebut di bagian terdahulu, fanatisme buta yang menganggap bahwa kelompokku, aliranku, agamaku, kampungku, partaiku, dan sebagainya yang berakhiran kata milik “Ku” adalah yang terbaik dan kelompok atau apapun sebagai lawan yang perlu dicurigai dan dianggap sebagai lawan yang perlu dihilangkan. Disinilah perlunya pendidikan kepada generasi-generasi penerus bangsa ini tentang arti penting “Cinta Kasih terhadap sesama manusia” Dengan cinta kasih ini diharapkan muncul tenggang rasa, dan solidaritas yang kuat. Dengan rasa persaudaraan ini akan muncul suatu sikap bahwa memaksakan kehendak berarti merampas hak orang lain, stereotip tertentu terhadap suatu golongan juga merupakan wujud dari ketiadaan rasa persaudaraan. Agama harus dipandang sebagai ajaran yang mengajarkan “kesalehaan sosial” yang bersifat universal, bukannya menjadi alat untuk mendorong semangat fanatisme yang picik, bahwa agamaku adalah yang terbaik, dan agama lain adalah musuh atau setidak-tidaknya menempati posisi sebagai kelompok yang perlu dicurigai yang harus dienyahkan dari muka bumi Indonesia ini.
Kesimpulan
Kelompok sendiri (In-group) seringkali menimbulkan “eksklusivisme buta” yang memandang kelompok luar sebagai ancaman, musuh yang harus dihadapi bersama. Kelompok erat yang ditimbulkan oleh nilai kebersamaan ini justru seringkali memicu terjadinya konflik antar kekuatan yang sama dari kelompok yang berbeda.
Pandangan atau pemikiran analitis tentang kelompok sendiri sebagai pendorong konflik ini merupakan suatu pandangan dari sisi lain terhadap pandangan pada umumnya. Pandangan ini bertujuan untuk mencoba mengenali dampak negatif dari suatu dorongan dasar yang sebenarnya memiliki tujuan yang sangat luhur. Nilai luhur yang terkandung pada pandangan khalayak umum tentang in-group sudah sering kita kenali, akan tetapi kekuatan dissosiatif di balik keluhuran tadi kurang diperhatikan dalam analisis pada umumnya.
Berbagai konflik keluarga, kelompok, suku, kampung dan sebagainya di kalangan masyarakat Indonesia seringkali dianggap tidak masuk akal mengingat begitu luhurnya nilai budaya Timur pada umumnya. Akan tetapi pada kenyataannya sering kita jumpai konflik semacam itu muncul secara tak terduga dengan dampak merusak yang sangat luar biasa. Semangat merusak yang berada di balik kelemah lebutan manusia Indonesia berusaha dianalisis secara berbeda, yang menghasilkan rumusan analisis tentang pengaruh dorongan berkumpul yang tinggi akibat adanya nilai tentang pentingnya berkumpul, bahkan sampai mengalahkan pentingnya pemenuhan kebutuhan fisik.
Konsepsi nilai yang berkembang, serta hidup dalam masyarakat ini mempengaruhi munculnya kelompok erat dan kelompok sendiri yang memiliki jiwa untuk memandang anggotanya sendiri sebagai satu wujud yang menghilangkan identitas pribadi sebagai ciri atomistik, pribadi yang menarik pada kesatuan kelompok yang memiliki entitasnya sendiri, yang kemudian akan memandang orang luar kelompok sebagai musuh bersama yang mengancam. Kelompok sendiri yang memiliki karakteristik keeratan hubungan sosial yang begitu tinggi akan menjadi kekuatan yang mempersatukan orang-orang yang sakit hati, orang yang tertindas, orang yang cemburu, orang yang tersingkir, dan sebagainya. Inilah yang menjadi prakondisi yang akan memunculkan kebencian kolektif sebagai energi penggerak kebrutalan dalam sebuah konflik.
Pencegahan munculnya konflik, dengan demikian, perlu diarahkan untuk mengurangi sebanyak mungkin energi kebrutalan ini, sebelum digunakan oleh para pengobar konflik. Selain itu juga pendidikan kepada generasi penerus bangsa tentang arti penting persaudaraan menjadi prioritas dalam setiap situasi, baik dalam keluarga, sekolah, maupun ceramah-ceramah keagamaan.
Daftar Pustaka
Garvin, Charles D. 1987. Contemporary Group Work. Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs NJ.
Gidden Anthony, David Held. 1982. Terjemahan oleh Vedi R. Kelompok, kekuasaan, dan Konflik, Rajawali Press, Jakarta
Hoffer, Eric. 1988 Gerakan Massa (True Believer), terjemahan oleh Masri Maris, Yayasan Obor Indonesia Jakarta.
Horton, Paul B. Chester L. Hunt. 1991. Sosiologi, Jilid 1. Penerbit Erlangga jakarta
Johson, Doyle Paul, 1986, Terjemahan Robert Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern.
Gramedia Jakarta
Krech, Crutchfield, Ballachey, 1962. Individual in Society. A. Textbook of Social Psychology,
McGraw-Hill. Kogakusha, Ltd.
Ma’arif Jamuin, 1999. Resolusi Konflik antar Etnik dan Agama, Ciscore dan The Asia Foundation
Raven, Bertram, Jeffrey Rubin, 1976. Social Psychology : People in Groups. John Wiley & Sons Inc.
New York.
Sumber:http://aribowostks.blogspot.com/2008/09/